Analisis tata niaga biasanya hanya melihat pada "barang" nya saja,yaitu harga barang, jenis barang, perubahan bentuk barang, dst. Kita lupa bahwa di belakang itu semua ada MANUSIA. Manusia yang punya rasa, emosi, nilai, norma, punya fikiran, punya prioritas sendiri, dll. Mereka membaca, mengumpulkan, dan menganalisis situasi. Mereka rasional dalam alamnya sendiri.
Minggu, 19 Desember 2010
Skema beriku merupakan upaya merubah struktur, pelaku (person), harga, serta sistem transaksi dan pembayaran tataniaga. Asumsinya dalah bahwa struktur yang berjalan adalah: dari petani –pedagang pengumpul – (mungkin) pengolah –pedagang besar antar wilayah/pulau –pedagang penerima (agen/grosir) –konsumen akhir.
Empat belas opsi yang dapat dipilih (dari sederhana ke rumit):
Urgensi Perlunya Perubahan Perspektif Kebijakan untuk Mengoptimalkan Peran Pedagang Hasil-Hasil Pertanian
Abstrak
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, namun sampai saat ini, pasar perdagangan hasil pertanian di Indonesia terutama pada perdagangan dalam negeri, umumnya masih dijalankan dalam bentuk sistem yang tradisional-nonformal. Dalam kondisi pasar yang tidak sempurna (imperfect market), modal sosial tumbuh dengan subur dan menjadi tulang punggung yang menjalankan keseluruhan sistem perdagangan tersebut. Tulisan ini merupakan kajian sistem sosial pedagang hasil pertanian, sebagai upaya memahami kondisi yang melatarbelakangi sistem tata niaga yang berjalan. Bahan tulisan berasal dari penelitian-penelitian berkenaan dengan subsistem pemasaran hasil pertanian beserta perilaku pedagang di dalamnya.
Kata Kunci: pedagang, pemasaran, hasil pertanian, kebijakan perdagangan, modal sosial.
Pendahuluan
Semenjak dahulu, terutama pada kalangan pengambil kebijakan selalu memiliki perspektif yang cenderung negatif terhadap peran pedagang dalam konteks pembangunan pertanian. Pada umumnya, pedagang hasil-hasil pertanian diibaratkan sebagai lintah yang mengisap petani sehingga petani hanya memperoleh sebagian kecil dari nilai tambah produk. Sangat sedikit kalangan yang memandang pedagang sebagai motor penggerak dari sistem agribisnis itu sendiri. Pada kenyataannya, suka atau tidak suka, kaum pedagang berperan sebagai jembatan yang menghubungkan sistem sosial tradisonal (petani) dengan sistem sosial modern (konsumen kota).
Dalam paradigma agribisnis, sektor hilir diyakini memiliki peran yang besar untuk menggerakkan atau menarik sektor hulu. Selain pengolah, pedagang memainkan peran yang sangat besar pada sektor hilir tersebut. Kenyataan lain, secara umum, pemahaman kalangan peneliti maupun pengambil kebijakan terhadap pedagang, terutama dari sisi karakteristik sosial budayanya; masih kurang memadai. Pemahaman yang kita miliki dibangun dari prasangka-prasangka, namun belum bertolak dari penelitian yang mendalam terutama penelitian dengan pendekatan sosiologis maupun antropologis.
Karena itulah, sesungguhnya dibutuhkan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih adil terhadap subsistem pemasaran dan pelaku yang terlibat di dalamnya. Penelitian dan tulisan selama ini tentang perdagangan hasil pertanian didominasi oleh penelitian tentang “barang yang diperdagangkan”, bukan pada manusia pelakunya. Penelitian tata niaga pertanian dari kacamata ilmu ekonomi mengungkapkan bentuk dan struktur rantai tata niaga, harga dan fluktuasinya, biaya dan margin tata niaga, integrasi pasar, efisiensi pasar, efektifitas pemasaran, transmisi harga, dan lain-lain. Manusia yang menggerakkan aktifitas tersebut jarang diteliti dan ditulis yaitu para pedagang, pengusaha transportasi, sopir dan buruh angkutan, kuli angkut di pasar, buruh pasar, tukang timbang, pemilik lapak, dan lain-lain. Tulisan ini bertujuan memberi kesadaran, terutama kepada kalangan peneliti dan pengambil kebijakan, agar memahami pedagang secara lebih mendalam dan secara lebih adil.
Kebijakan Pemerintah Kurang Mendukung Peran Pedagang Hasil Pertanian
Permasalahan umum yang dijumpai dalam kelembagaan pemasaran selama ini adalah lemahnya posisi petani, yang utamanya disebabkan struktur pasar dan petani yang memasarkan secara individual. Penelitian Rusastra et al. (2004), mendapatkan bahwa pemasaran yang bersifat individual menyulitkan posisi petani hortikultura, walaupun telah tersedia Sub Terminal Agribisnis (STA). Agar kinerja STA yang telah diinisiasi oleh pemerintah tersebut lebih efektif, perlu didukung dengan kelembagaan pemasaran bersama di tingkat kelompok tani. Hal ini diyakini akan memperbaiki akses dan efisiensi pemasaran.
Selain itu, permasalahan lain adalah karena selain terlalu berpihaknya pemerintah pada sektor industri, kebijakan pertanian sejak tahun 1980-an cenderung distortif (Arifin, 2004). Alasan memperpendek rantai tata niaga seringkali dipakai untuk menciptakan lembaga-lembaga pemasaran baru. Namun, alih-alih meningkatkan efisiensi, upaya ini justru merusak kelembagaan pengelolaan pertanian. Kelemahan kelembagaan ini diperburuk oleh lemahnya penegakan hukum. Tanpa penegakan hukum, pemburu rente, baik pengusaha maupun birokrat, dapat mengambil kesempatan dalam kesempitan dari kelemahan kelembagaan. Tata niaga yang pendek dan wewenang yang terpusat di birokrasi membuka lebih jauh kesempatan perburuan rente ini. Salah satu program yang digulirkan untuk memperbaiki pemasaran adalah Agropolitan, namun penelitian Rusastra et al. (2004) tidak mendapatkan gambaran yang menggembirakan tentang ini.
Pemerintah cenderung mendorong pasar modern. Namun, penelitian Agustian et al. (2005: saya terlibat dalam studi ini) mendapatkan bahwa berbagai kelembagaan pemasaran yang eksis saat ini belum mampu memperbaiki pendapatan petani secara langsung. Lembaga pasar modern belum mampu diakses petani, sehingga tidak mampu pula meningkatkan pendapatan petani. Pedagang pengumpul desa masih menjadi andalan utama dalam pemasaran. Meskipun lembaga pasar modern dipersepsikan sebagai kelembagaan yang ideal, namun faktanya ia mengambil margin paling besar dibandingkan pedagang-pedagang tradisional.
Dalam hal kelembagaan pemasaran secara umum, penataan yang ketat hanya diberlakukan pemerintah untuk beberapa komoditas pangan pokok saja, terutama untuk beras dan gula. Beras merupakan komoditas yang semenjak dahulu ditetapkan dengan HPP, kebijakan impor, tarif, dan lain-lain. Penelitian Jamal et al. (2006) menemukan adanya kecenderungan terjadinya disparitas harga gabah dan beras yang semakin jauh. Ini disebabkan lemahnya posisi tawar petani, nilai tambah pengolahan dan perdagangan dinikmati pedagang, struktur pasar beras yang jauh dari persaingan sempurna; dan pasca panen dan distribusi yang tidak efisien sehingga tejadi asimetri pasar.
Berbagai penelitian selama ini telah memaparkan berbagai hambatan dalam pelaksanaan perdagangan hasil-hasil pertanian di Indonesia, secara formal maupun non formal. Satu moment penting adalah munculnya deregulasi perdagangan domestik, sesuai kesepakatan Januari 1998 antara pemerintah dengan IMF. Kesepakatan ini antara lain memuat pembebasan perdagangan antar daerah/pulau, penghapusan kuota sapi potong, pembebasan tataniaga cengkeh, dan pembebasan petani dari program tebu intensifikasi. Pajak dan retribusi daerah sebagai komponen biaya "non-market", secara langsung telah mendistorsi pasar.
Penelitian Smeru (2007) mendapatkan bahwa sebelum deregulasi, perdagangan sapi potong mengalami banyak distorsi dan menjadi "sapi perah" untuk sumber PAD. Di NTT ditemukan paling tidak ada 16 jenis pajak dan retribusi yang dibebankan kepada petani dan pedagang sapi potong, sedangkan di Sulsel ada 14 jenis, yaitu sekitar 13% dan 4% dari rata-rata harga di tingkat petani. Deregulasi berdampak positif, setidaknya dilihat dari kepentingan petani dan pedagang yang selama ini dijadikan objek pungutan (formal dan informal), meskipun Pemda menilai negatif karena telah menurunkan PAD.
Karakteristik Sistem Sosial Pedagang Hasil Pertanian
Secara umum, kegiatan perdagangan di Indonesia masih berlangsung dalam budaya sosio-ekonomi yang berbentuk sistem “ekonomi pasar tradisional” (Ramelan, 2002). Bahkan, dalam keadaan krisis yang sedang kita alami, ekonomi pasar tradisional telah menunjukan ketahanannya. Dalam era globalisasi ekonomi, ekonomi pasar tradisional masih menjadi andalan sistem ekonomi kita. Namun demikian, saat ini kondisi pasar tradisional pada umumnya memprihatinkan (Poesoro, 2007). Dengan berbagai kelebihan yang ditawarkan oleh pasar modern, kini pasar tradisional semakin terancam keberadaannya.
Beberapa ciri pokok ekonomi tradisional adalah informal, kecil-kecilan dan keterlibatan perempuan. Perempuan merupakan pelaku yang banyak pada sektor tradisional atau informal. Masuknya perempuan dalam perdagangan, terutama pada skala kecil, menurut Abdullah (2001), disebabkan karena menyempitnya lahan pertanian di wilayah pedesaan sehingga perempuan tersingkir dari kegiatan pertanian yang dikuasai laki-laki.
Pelaku dalam perdagangan tidak hanya “pedagang” dalam arti orang yang membeli dan membayar suatu barang, lalu menjualnya pada kesempatan lain dengan mengambil untung dari kegiatannya tersebut. Selain pedagang, dalam sistem perdagangan terlibat juga para buruh yang membantu pedagang, pelaku transportasi, penyedia jasa dalam penimbangan, bongkar muat , dan lain-lain. Dalam satu jaringan tata niaga biasa dijumpai begitu banyaknya pedagang terlibat mulai pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul tingkat kecamatan, kemudian ke pedagang pengumpul yang lebih tinggi lagi sampai akhimya pada pedagang antar daerah, antar pulau atau eksportir. Pada daerah pemasaran, barang akan masih berpindah-pindah tangan lagi lebih dari satu kali, misalnya dari pedagang antar wilayah/pulau ke pedagang grosir (wholesaler) dan selanjutnya ke padagang pengecer (retailer).
Dalam menganalisis relasi dalam sebuah struktur perdagangan, biasanya bertolak dari “pedagang” (traders), yang merupakan pedagang besar, adakalanya disebut dengan bandar, yang menjadi pelaku dalam perdagangan antar wilayah, perdagangan antar pula, atau eksportir. Para pedagang yang menjadi pengirim barang ke “pedagang” disebut pemasok (supplier), yang dapat berupa pedagang komisioner, broker, maupun pedagang kaki tangan (lihat Syahyuti, 1998). Lalu, para pedagang yang menerima barang dari “pedagang” yaitu yang berada di wilayah pemasaran disebut dengan clients, pedagang pengecer (retailer) dan grosir (wholesaler) seperti halnya pedagang yang memiliki lapak di pasar induk misalnya.
Yang membedakan pedagang dengan pedagang kaki tangan adalah, pedagang menyertakan modalnya sendiri di dalam transaksi sementara pedagang kaki tangan memakai modal orang lain, yaitu modal dari pedagang berikutnya (lebih di hilir) dalam jalur tata niaga tersebut. Sementara pedagang komisioner selain tidak menyertakan modal uangnya sendiri, juga tidak menetapkan harga, bahkan tidak membayar apapun pada saat membeli. Pedagang biasa memiliki peran yang lebih besar di dalam jaringan tata niaga, meskipun jumlahnya dalam satu sistem jaringan tata niaga tidak banyak. Pedagang (traders) jenis ini memiliki otoritas terhadap pembelian dan penentuan harga.
Perdagangan hasil-hasil pertanian, termasuk di Indonesia, secara umum bekerja dalam bentuk pasar yang tidak sempurna (imperfect markets). Ketidaksempurnaan tersebut diindikasikan oleh lemahnya kelembagaan pasar (poor market institutions) secara struktural dan kultural, biaya transaksi yang besar (high search costs) sehingga menjadi tidak efisien, dan struktur informasi yang tidak sempurna dan seimbang (imperfect and asymmetric information). Kelembagaan pasar yang lemah (poor market institutions) terlihat dari tiga hal, yaitu permodalan, kontrak dagang, dan asuransi.
Penggunaan kredit oleh pedagang sangat rendah dalam membantu aktifitasnya, karena pemerintah tidak menyediakan skim khusus. Meskipun pedagang dapat mengakses skim kredit umum, namun agunan (collateral) yang biasanya minim menjadi kendala. Menurut Poesoro (2007), faktor yang menjadi penyebab kurang berkembangnya pasar tradisional adalah minimnya daya dukung untuk pedagang tradisional yakni strategi perencanaan yang kurang baik dan terbatasnya akses permodalan karena jaminan yang tidak mencukupi.
Pedagang biasanya memperoleh modal dari pedagang lain, yang sekaligus sebagai bukti diterimanya dirinya dalam struktur perdagangan tersebut. Jaringan neraca kredit yang kompleks dan bercabang-cabang adalah salah satu mekanisme yang mengikat bersama semua pedagang besar maupun kecil menjadi faktor integratif dalam pasar (Geertz, 1989). Perilaku berhutang tidaklah hanya untuk tujuan memperoleh modal, karena itu juga berarti suatu mekanisme untuk mendapatkan posisi dalam sistem jaringan tata niaga tersebut. Damanik (1983) juga menemukan bahwa blantik melakukan kerjasarna dengan pembeli melalui penentuan harga dan kerjasama modal. Demikian pula Sihite (1995) yang mendapatkan bahwa bantuan dana sesama pedagang adalah sumber modal utama bagi pedagang.
Penelitian Fafchamps dan Minten (1999) menemukan, karena begitu bernilainya relasi yang telah dibina, maka solusi jika dihadapi perselisihan adalah dengan meneruskan perdagangan (resolved and trade continues). Hubungan yang telah tercipta begitu bernilai bagi mereka, dibandingkan hutang yang belum dibayar misalnya. Pola berlangganan merupakan strategi yang sangat sesuai menghadapi berbagai kelemahan kelembagaan pasar (Syahyuti, 1998). Pola langganan ini berbentuk hubungan dua pihak (diadik) mulai dari pedagang ranting dengan pedagang pengumpul tingkat desa, bergerak secara bertahap ke ujung sampai akhimya pada transaksi antara pedagang grosir dengan pedagang pengecer. Hal ini juga ditemukan dalam penelitian Saptana et al. (2006) berkenaan dengan manajemen rantai pasok (supply chain) kentang di Jabar.
Di sisi lain, pedagang memiliki sifat yang lebih tertutup terhadap orang luar dan cenderung curiga. Wharton (1984) serta Hayarni dan Kawagoe (1993) melaporkan bahwa di dalam pelaksanaan penelitiannya mereka kurang berhasil mengadakan pendekatan dengan responden pedagang dan jawaban-jawaban mereka juga diragukan validitasnya. Sifat yang cenderung tertutup tersebut timbul dari kebiasaan untuk mempertahankan informasi yang dimilikinya karena informasi adalah sumber daya yang sangat berharga.
Modal Sosial menjadi Tulang Punggung Relasi Antar Pedagang
Schiff (2000) menyebutkan bahwa di era modern ini, dimana terjadi perdagagan bebas (free trade) dan migrasi bebas (free migration), namun keduanya membutuhkan modal sosial. Bank Dunia mengungkapkan bahwa modal sosial memiliki dampak yang signifikan terhadap proses-proses pembangunan (World Bank, 2000). Kegiatan pembangunan akan lebih mudah dicapai dan biayanya akan lebih kecil jika terdapat modal sosial yang besar (Narayan dan Prittchett 1997, Grootaert dan van Bastelaer 2001).
Menurut World Bank (1998), dalam modal sosial dibutuhkan adanya “nilai saling berbagi” (shared values) serta pengorganisasian peran-peran (rules) yang diekspresikan dalam hubungan-hubungan personal (personal relationships), kepercayaan (trust), dan common sense tentang tanggung jawab bersama; sehingga masyarakat menjadi lebih dari sekedar kumpulan individu belaka. Putnam (1993) memandang modal sosial sebagai seperangkat hubungan horizontal (“horizontal associations”) antar orang. Menurutnya, modal sosial berisi social networks (“networks of civic engagement”) dan norma yang mempengaruhi produktifitas suatu masyarakat.
Modal sosial sesungguhnya memiliki kontribusi penting dalam pembangunan berkelanjutan. Kapital berupa natural capital, physical atau produced capital, dan human capital; perlu dilengkapi dengan social capital (Grootaert, 1997). Modal sosial pada tingkat mikro berguna untuk memfungsikan pasar, dan pada level makro untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Modal sosial menjadi dasar orang untuk bekerjasama untuk suatu tujuan bersama dalam group dan organisasi. Elemen utama dalam modal sosial mencakup norms, reciprocity, trust, dan network (Subejo, 2004; Serageldin dan Grootaert, 1997).
Modal sosial mampu mengurangi dampak ketidaksempurnaan (imperfect) kelembagaan pasar yang umum dijumpai pada perdagangan hasil-hasil pertanian. Dalam laporan World Bank (2006), ada bukti yang nyata bahwa perdagangan pada level makro dipengaruhi oleh modal sosial. Menurut Brata (2004), modal sosial dalam pengertian jaringan-jaringan atau hubungan-hubungan sosial informal, turut menentukan proses menjadi pedagang angkringan, termasuk dalam hal penentukan lokasi berdagang. Penelitian Fafchamps dan Minten (1999) memperoleh kesimpulan bahwa akumulasi modal sosial terbukti memberikan peran yang sangat nyata dalam bisnis. Pengukuran modal sosial memperlihatkan tumbuhnya nilai tambah (margins or value added) secara signifikan di atas kepemilikan sarana, kapital tenaga kerja (labor capital), human capital, dan keterampilan manajemen. Dua hal yang penting adalah jumlah pedagang lain yang dikenal dan jumlah orang yang siap membantu jika menghadapi permasalahan. Selain itu, hubungan bukan keluarga (non-family networks) terbukti lebih berperan dibandingkan hubungan keluarga (family networks).
Penelitian di China (Anonim, 2005) mendapatkan bahwa jaringan kekeluaragaan (kinship networks) merupakan dasar pembentuk hubungan modal sosial yang menciptakan kepercayaan dalam masyarakat. Dalam menghadapi perubahan cepat dalam ekonomi industri, peran pelaku-pelaku dalam kelembagaan penting dalam keberlanjutan modal sosial yang sudah ada.
Sementara itu, penelitian Fafchamps (2007) di Afrika membutktikan bahwa menghadapi kebijakan reformasi pasar pertanian (agricultural market reforms), dimana terjadi peningkatan biaya transaksi berhadapan dengan pedagang individual (individual traders), maka peran perantara (intermediaries) semakin penting, termasuk jaringan (relationships) dan modal sosial. Studinya juga menunjukkan bahwa asset yang dimiliki seorang pedagang (traders’ assets), termasuk finansial, fisik, serta sumberdaya manusia dan modal sosial; mempengaruhi perilaku komersial para pedagang.
Penelitian Fafchamps dan Minten (1999) dengan menggunakan 1579 orang sampel pedagang dengan menggunakan analisis permodelan ekonomi, membuktikan bahwa “... traders who do not develop the appropriate social capital, do not grow”. Modal sosial terbukti mempengaruhi pertukaran ekonomi (economic exchange) dalam dua bentuk yaitu kepercayaan dan emosi dalam kelompok atau jaringan, dan keuntungan yang diperoleh secara langusng secara individual atau sebuah perusahaan dengan mengenal pihak lain secara mendalam melalui jaringan ataupun pelanggan (interconnected agents). Modal sosial dapat mengurangi biaya dalam memperoleh barang, meningkatkan difusi inovasi, dan mereduksi resiko. Penelitian Fafchamps (2007) juga memperlihatkan bahwa pedagang memanfaatkan jaringan and modal sosial untuk mengatasi tiga masalah penting dalam pasar yang tak sempurna (imperfect markets) yang umum dijumpai di negara berkembang.
Modal sosial memainkan perannya secara nyata dalam kondisi kelembagaan pasar yang lemah apalagi gagal. Modal sosial dapat menjadi sumber kredit ketika kredit formal tidak bisa diakses, dapat menjadi asuransi melalui berbagi resiko (risk sharing) yaitu tidak membayar sebelum barang terjual sehingga harga ditentukan belakangan (atau setidaknya memohon pengurangan harga jika harga yang terjadi lebioh rendah dari yang diharapkan), dan dapat menjadi pengganti ketika kekuatan kontrak (contract enforcement) dari lembaga formal tidak berjalan atau tidak ekonomis.
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
Uraian di atas memperlihatkan bahwa pedagang, dibalik sifatnya yang kelihatan hanya mencari untung secara sepihak, ternyata juga memiliki sisi-sisi positif. Sistem perdagangan lokal yang bersifat tradisional-non formal tidak mudah untuk ditransformasikan menjadi modern-formal. Dalam kondisi demikian, maka salah satu solusi yang riel adalah berupaya memahami peran dan sistem sosial pedagang secara lebih adil dalam upaya untuk “merangkulnya” untuk mengembangkan sistem agribisnis secara berkelanjutan dan berkadilan.
Para pedagang telah berupaya memandirikan dirinya sendiri, ketika kebijakan kurang mendukungnya. Dengan mengoperasikan sistem pemasaran yang tradisional-nonformal, modal sosial dijadikan strategi untuk mereduksi tingginya biaya transaksi melalui tiga dimensi yaitu relasi dengan pedagang lain yang dapat membantu dalam biaya transaksi, relasi dengan orang-orang yang dapat membantu jika dihadapi kesulitan keuangan karena bisnis dengan resiko yang besar (liquidity risk), dan relasi keluarga (family relationships) yang dapat mengefisienkan dan mereduksi kesalahan-kesalahan dalam penilaian kualitas barang (measurement error). Kedepan, aspek ini perlu mendapat perhatian secara lebih. Meskipun tidak mudah, namun modal sosial dapat ditumbuhkan secara formal misalnya melalui penumbuhan asosiasi-asosiasi pedagang, untuk mengurangi dampak dari bisnis yang misalnya berbasiskan kesukuan, dan memfasilitasi komunikasi dan informasi yang baik.
Daftar Pustaka
Agustian, A.; A. Zulham; Syahyuti; H. Tarigan; A. Supriayatna; Y. Supriyana; T. Nurasa. 2005. Analisis Berbagai Bentuk Kelembagaan Pemasaran dan Dampaknya Terhadap Peningkatan Usaha Komoditas Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Anonimous. 2005. Trade unions and social capital in transitional communist states: The case of China. http://www.springerlink.com/content/ qmn475617r140x47/
Arifin, Bustanul. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2004. 301 halaman
Brata, Aloysius G. 2004. Nilai Ekonomis Modal Sosial pada Sektor Informal Perkotaan. Lembaga Penelitian Universitas Atma Jaya.
Damanik, Konta Intan. et al. (16 orang penulis). 1983. Peranan Blantik dalam Sistem Produksi dan Pemasaran Kambing/Domba di Jawa Tengah. (hal. 220-225) dalam M. Rangkuti, Tjeppy D. Soedjana, H.C. Knipscheer, P. Sitorus, clan Agus Setiadi (editor). Domba dan Kambing di Indonesia. Pro siding Pertemuan Umiah Pene1itian Ruminansia Kecil. Bogor. 22-23 November 1983. Pusat penelitian dan Pengembangan Pertemakan (315 halaman).
Fafchamps, Marcel dan Bart Minten. April 1999. Social Capital and the Firm: Evidence from Agricultural Trade. http://www.appropriate-economics.org/materials/social_capital_and_the_firm.pdf
Fafchamps, Marcel. Global Poverty Research Group. 2007. Trade and social capital. http://www.gprg.org/themes/t4-soccap-pub-socsafe/sc-uses/trade-sc.htm, 20 agustus 2007
Geertz, Clifford. 1989. Penjaja clan Raja: Perubahan Sosial clan Modemisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia. Yayasan Ooor Indonesia. Jakarta. (172 hal).
Grootaert, C. 1997. “Social Capital: The Missing Link?” in Expanding the Measure of Wealth: Indicators of Environmentally Sustainable Development. Environmentally Sustainable Development Studies and Monographs Series No. 7. Washington, DC: The World Bank. (Dalam The World Bank. 1998. Hal 5-7).
Grootaert, C dan T van Bastelaer. 2001. Understanding and Measuring Social Capital: A Synthesis of Findings and Recommendations from the Social Capital Initiative. Social Capital Initiative Working Paper No. 24. Washington, D.C: The World Bank.
Hayami, Yujiro dan Toshihiko Kawagoe. 1993. The Agrarian Origins of Commerce and Industry: A Study of Peasant Marketing In Indonesia. St. Martin's Press. Singapore.
Jamal, E.; KM Noekman; Hendiarto; E. Ariningsih; dan A. Askin. 2006. Analisis Kebijakan Penentuan Harga Pembelian Gabah. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Narayan, D. dan Pritchett, L. 1997. Cents and Socialibility: Household Income and Social Capital in Rural Tanzania, Policy Research Department, the World Bank, Washington DC, August 1996. (Mimeograph)
Poesoro, Adri. 2007. Pasar Tradisional di Era Persaingan Global. SMERU Newsletter No. 22: Apr-Jun/2007. Lembaga Penelitian SMERU. Jakarta.
Putnam, R. 1993. “The Prosperous Community — Social Capital and Public Life.” American Prospect (13): 35-42. (Dalam The World Bank. 1998. Hal 5-7).
Ramelan, Rahardi. 2002. Menyikapi Modal Asing: Bagian Pertama dari Dua Tulisan. http://www.leapidea.com/presentation%3Fid%3D41+social+capital +modal+sosial+di+perdagangan&hl=id&ct=clnk&cd=1&gl=id
Rusastra, I Wayan; Hendiarto, KH Noekman; WK Sedjati; A. Supriatna; dan D. Hidayat. 2004. Kinerja dan Perspektif Pengembangan Model Agropolitan dalam Mendukung Pengembangan Ekonomi Wilayah Berbasis Agribsinis. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Saptana; A. Agustian; H. Mayrowani; dan Sunarsih. 2006. Analisis Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Hortikultura. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Smeru. 2007. Deregulasi Perdagangan Wilayah: Hasil dari Tiga Propinsi. Laporan Penelitian. http://www.smeru.or.id/newslet/1999/ed05/ 199905field.htm
Subejo. 2004. Peranan Social Capital dalam Pembangunan Ekonomi: Suau Pengantar untuk Studi Social Capital di Pedesaan Indonesia. Majalah Agro Ekonomi Vol. 11 No.1 Juni 2004. hal 79.
Schiff, Maurice. 2000. Love Thy Neighbor: Trade, Migration and Social Capital World Bank - Development Research Group (DECRG); Institute for the Study of Labor (IZA). May 8, 2000. World Bank Working Paper. http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=229615. (social science research network).
Sihite, Romany Rampengan. 1995. Pola Kegiatan Wanita di Sektor Informal; Khususnya Pedagang Sayur di Pasar. (haI375-400) dalam T.O. Ihromi (penyunting). 1995. Kajian Wanita dalam Pembangunan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. (549 ha1.).
Syahyuti. 1998. Beberapa Karakteristik dan Perilaku Pedagang Pemasaran Komoditas Hasil-Hasil Pertanian di Indonesia. Forum Agro Ekonomi Vol. 16 No.1, Juli 1998.
Wharton, Clifton R. 1984. Pemasaran, Perdagangan dan Peminjaman Uang: Studi Mengenai Monopsoni Pedagang Perantara di Malaysia Barat (haI143-169). dalam Budiono dan Peter McCawley (editor). Bunga Rampai Ekonomi Mikro. Gajah Mada University Press. Yayasan Obor Indonesia. (228 halaman).
World Bank.1998. ”The Initiative on Defining, monitoring and Measuring Social Capital: Text of Proposal Approved for Funding”. Social Capital Initiative Working Paper No. 2. The World Bank, Social Development Family, Environmentally and Socially Sustainable Development Network. June 1998. (Dalam http://www1.worldbank.org/prem/poverty/scapital/wkrppr/sciwp2.pdf. 9 Mei 2005).
World Bank. 2000. World Development Report 1999/2000: Entering the 21st Century. New York: Oxford University Press. http://www.acehinstitute.org/opini_muamar_vebry_071206_dead_capital.htm
World Bank, 2006. Social Capital in Economics, Trade and Migration http://www1.worldbank.org/prem/poverty/scapital/topic/econ1.htm
*****
Peran Modal Sosial (Social Capital) di antara Pelaku Perdagangan Hasil Pertanian
Pasar perdagangan hasil pertanian di Indonesia, terutama berupa perdagangan dalam negeri, sebagian besar dijalankan dalam bentuk relasi nonformal antar pelakunya. Dalam kondisi pasar yang tidak sempurna (imperfect market), modal sosial tumbuh dengan subur dan menjadi tulang punggung yang menjalankan sistem perdagangan tersebut. Tulisan ini merupakan kajian sistem sosial pedagang hasil pertanian, sebagai upaya memahami kondisi yang melatar belakangi sistem perdagangan yang berjalan. Bahan tulisan berasal dari penelitian-penelitian berbagai komoditas pertanian, khususnya tentang subsistem pemasaran hasil pertanian beserta perilaku pedagang di dalamnya.
Kata Kunci: modal sosial, pedagang, perdagangan, hasil pertanian.
Pendahuluan
Dibandingkan dengan kegiatan budidaya pertanian, aktifitas perdagangan merupakan arena dimana terjadi interaksi antara manusia secara lebih intensif dan luas. Keterlibatan Indonesia dalam perdagangan dunia telah ada sejak dahulu. Beberapa data menunjukan bahwa pada tahun 1937 misalnya, ekspor kopi dari Indonesia merupakan 7 persen dari pasar ekspor dunia, karet alam 38 persen, minyak kelapa 39 persen dan timah 18 persen (Tate, 1979).
Penelitian yang selama ini banyak dilakukan tentang perdagangan hasil pertanian didominasi oleh penelitian tentang “barang yang diperdagangkan”, bukan pada manusia pelakunya. Penelitian tersebut yang umumnya menggunakan kacamatani ilmu ekonomi mengungkapkan bentuk dan struktur rantai tata niaga, harga dan fluktuasinya, biaya dan margin tata niaga, integrasi pasar, efisiensi pasar, efektifitas pemasaran, transmisi harga, dan lain-lain. Manusia yang menggerakkan aktifitas tersebut jarang diteliti dan ditulis yaitu para pedagang, pengusaha transportasi, sopir dan buruh angkutan, kuli angkut di pasar, buruh pasar, tukang timbang, pemilik lapak, dan lain-lain.
Sebagaimana relasi sosial (relasi antar manusia) pada umumnya, selalu melibatkan modal sosial (social capital). Schiff (2000) menyebutkan bahwa di era modern ini, dimana terjadi perdagagan bebas (free trade) dan migrasi bebas (free migration), namun keduanya membutuhkan modal sosial. Selaras dengan itu, Brata (2004) mengatakan bahwa modal sosial merupakan isu menarik yang banyak dibicarakan dan dikaji belakangan ini. Dalam laporan tahunannya yang berjudul Entering the 21st Century, misalnya, Bank Dunia mengungkapkan bahwa modal sosial memiliki dampak yang signifikan terhadap proses-proses pembangunan (World Bank, 2000). Kegiatan pembangunan akan lebih mudah dicapai dan biayanya akan lebih kecil jika terdapat modal sosial yang besar (Narayan dan Prittchett 1997, Grootaert dan van Bastelaer 2001).
Secara umum, menurut Tonkiss (2000) modal sosial barulah bernilai ekonomis kalau dapat membantu individu atau kelompok misalnya untuk mengakses sumber-sumber keuangan, mendapatkan informasi, menemukan pekerjaan, merintis usaha, dan meminimalkan biaya transaksi. Pada kenyataannya jaringan sosial tidaklah cukup karena belum mampu menciptakan modal fisik dan modal finansial yang belum pernah ada.
Tulisan ini bertujuan memahami pedagang secara lebih mendalam yang mempengaruhi perilakunya dalam berdagang, khususnya dari bagaimana bentuk, tingkatan, dan persoalan modal sosial yang mereka miliki. Modal sosial perlu dipahami secara baik karena mampu mengurangi dampak ketidaksempurnaan (imperfect) kelembagaan pasar yang umum dijumpai pada perdagangan hasil-hasil pertanian.
Batasan dan Variabel-variabel dalam Modal Sosial
Pada prinsipnya, konsep “modal sosial” (social capital) lahir sebagai kritik terhadap pendekatan individual otonom yang merupakan karakter utama ilmu ekonomi. Semenjak dahulu telah berkembang berbagai pengertian tentang modal sosial, baik yang dikembangkan oleh kalangan ekonomi maupun sosial (ilmu non-ekonomi), sehingga kita dapat menemukan modal sosial dalam pengertian kalangan ekonom dan juga non-ekonom.
Modal soail dapat diterapkan untuk berbagai kebutuhan, namun yang paling banyak adalah untuk upaya pemberdayaan masyarakat. World Bank memberi perhatian yang tinggi dengan mengkaji peranan dan implementasi modal sosial khususnya untuk pengentasan kemiskinan di negara-negara berkembang. Paham yang dikembangkan oleh World Bank dengan menggunakan modal sosial didasari oleh asumsi berikut yaitu (World Bank, 1998): (1) Modal sosial berada dalam seluruh keterkaitan ekonomi, sosial, dan politik; dan meyakini bahwa hubungan sosial (social relationships) mempengaruhi bagaimana pasar dan negara bekerja. Sebaliknya, pasar dan negara juga akan membentuk bagaimana modal sosial di masyarakat bersangkutan. (2) Hubungan yang stabil antar aktor dapat mendorong keefektifan dan efisiensi baik perilaku kolektif maupun individual. (3) Modal sosial dalam satu masyarakat dapat diperkuat, namun membutuhkan dukungan sumber daya tertentu untuk memperkuatnya. (4) Agar tercipta hubungan-hubungan sosial dan kelembagaan yang baik, maka anggota masyarakat mesti mendukungnya.
Menurut World Bank (1998), social capital adalah “…a society includes the institutions, the relationships, the attitudes and values that govern interactions among people and contribute to economic and social development”. Jadi, modal sosial menjadi semacam perekat yang mengikat semua orang dalam masyarakat. Dalam modal sosial dibutuhkan adanya “nilai saling berbagi” (shared values) serta pengorganisasian peran-peran (rules) yang diekspresikan dalam hubungan-hubungan personal (personal relationships), kepercayaan (trust), dan common sense tentang tanggung jawab bersama; sehingga masyarakat menjadi lebih dari sekedar kumpulan individu belaka.
Luas jangkauan konsep yang dikembangkan tentang modal sosial bervariasi antar ahli. Konsep yang paling sempit dikemukakan oleh Putnam (1993), yang memandang modal sosial sebagai seperangkat hubungan horizontal (“horizontal associations”) antar orang. Menurutnya, modal sosial berisi social networks (“networks of civic engagement”) dan norma yang mempengaruhi produktifitas suatu masyarakat. Konsep yang lebih luas disampaikan oleh Coleman (1988) yang mendefinisikan modal sosial sebagai “a variety of different entities, with two elements in common: they all consist of some aspect of social structure, and they facilitate certain actions of actors — whether personal or corporate actors — within the structure”. Konsep ini memasukkan hubungan-hubungan horizontal dan vertikal sekaligus, serta juga perilaku di dalam dan antara seluruh pihak dalam masyarakat.
Modal sosial sesungguhnya memiliki kontribusi penting dalam pembangunan, khususnya agar tercapainya pembangunan berkelanjutan. Pada konsep awal pembangunan berkelanjutan, faktor-faktor yang dipertimbangkan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan baru terbatas pada natural capital, physical atau produced capital, dan human capital. Lalu disadari bahwa ketiga kapital tersebut baru menjelaskan secara parsial dari keseluruhan proses pertumbuhan ekonomi. Satu mata rantai yang hilang (the missing link) adalah social capital (Grootaert, 1997).
Istilah “kapital” sesungguhnya sangat berbau ekonomi. Pengertian ini mempengaruhi bagaimana kalangan ekonom mamaknai modal sosial. Dalam pengertian yang mendasar menurut kalangan ekonom, modal sosial berperan dalam mekanisme alokasi sumberdaya. Dalam ilmu ekonomi, modal sosial pada tingkat mikro berguna untuk memfungsikan pasar, dan pada level makro untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Modal sosial terlihat dari bagaimana institusi, legal frameworks, dan peran pemerintah dalam organisasi produksi mempengaruhi kinerja ekonomi makro. Dalam konteks ini, modal sosial menjadi dasar orang untuk bekerjasama untuk suatu tujuan bersama dalam group dan organisasi.
Jika dicermati lebih jauh, khususnya dari kalangan sosiologi, akan tampak bahwa elemen utama dalam modal sosial mencakup norms, reciprocity, trust, dan network (Subejo, 2004). Dalam literatur ilmu politik, sosiologi, dan antropologi, modal sosial didefinisikan sebagai “.. the set norms, networks, and organization through which people gain access to power and resources that are instrumental in enabling decision-making and policy formulation” (Serageldin dan Grootaert, 1997).
Selanjutnya, menurut Robert Putnam (1993), modal sosial adalah: “similar to the notions of physical and human capital, the term social capital refers to featurs of social organization – such as network, norms, and trust that increase a society’s productive potenstial”. Dengan definsi ini, trust, network, dan civil society adalah sesuatu yang lahir dari adanya modal sosial, bukan modal sosial itu sendiri. Dengan mempelajari ketiganya maka kita dapat memprediksi modal sosial yang ada di masyarakat tersebut.
Modal sosial tercipta dari ratusan sampai ribuan interaksi antar orang setiap hari. Ia tidak berlokasi pada diri pribadi atau dalam struktur sosial, tapi pada space between people. Ia pelengkap institusi; dan bukan milik organisasi, pasar, ataupun negara. Modal sosial merupakan fenomena yang tumbuh dari bawah, yang berasal dari orang-orang yang membentuk koneksi sosial dan network yang didasarkan atas prinsip “... trust, mutual reciprocity, ans norm of action”. Karena itu, modal sosial tidak dapat diciptakan oleh seorang individual, namun sangat tergantung kepada kapasitas masyarakat (ataupun organisasi) untuk membentuk asosiasi dan jaringan baru.
Banyak perbedaan batasan antar ahli tentang modal sosial. Beberapa penulis menekankan pentingnya trust, sebagian social network, dan behavioral norms; namun ada yang menekannya ketiganya sekaligus. Robert Putnam (1993) menekan ketiga 3 elemen utama dalam modal sosial, yaitu: rasa saling percaya (trust), norma yang disepakati dan dita’ati (social norms), serta jaringan sosial (social network). Pengertian trust secara sederhana adalah: “willingness to take risk”. Yaitu, interaksi-interaksi yang didasari perasaan yakin (sense of confidence), bahwa orang lain akan memberi respon sebagaimana diharapkan, dan akan saling mendukung. Atau, setidaknya orang lain tak akan bermaksud menyakiti. Jadi, ada perasaan aman ketika berinteraksi (perceived safety) dengan orang lain. Perasaan ini memiliki wilayah jangkauan (“radius of trust”) yang didefinisikan sebagai: “the circle of people among whom cooperative norms are operative”.
Dalam hal trust, kehidupan ekonomi sangat bergantung kepada ikatan moral kepercayaan sosial yang memperlancar transaksi, memberdayakan kreatifitas perorangan, dan menjadi alasan kepada perlunya aksi kolektif. Ia merupakan ikatan tidak terucap dan tidak tertulis. Masyarakat dengan modal sosial tinggi terlihat dengan rendahnya angka kriminal dan sedikitnya jumlah kebijakan formal. Namun jika modal sosial rendah, dimana social norms-nya sedikit, maka kerjasama antar orang hanya dapat berlangsung di bawah sistem hukum dan regulasi yang formal.
Agar beroperasi, modal sosial menuntut partisipasi dalam jaringan, resiprositas, trust, social norm, sifat keumuman pemilikan (the common), dan sikap warga yang proaktif. Modal sosial hanya akan tercipta bila ada sikap resiprositas yang tinggi. Artinya, interaksi bukan suatu accounted exchange sebagaimana dalam kontrak bisnis, tapi kombinasi antara sifat altruis jangka pendek dengan harapan keuntungan dalam jangka panjang. Artinya, suatu kebaikan saat ini dipercaya akan dibalas pada waktu yang tak diduga nanti dalam bentuk yang lain. Secara umum, ada delapan elemen yang berbeda yang harus ada untuk mewudukan modal sosial, yaitu partisipasi pada komunitas lokal, proaktif dalam konteks sosial, perasaan trust dan safety, hubungan ketetanggaan (neighborhood connection), hubungan kekeluargaan dan pertemanan (family and friends connection), toleransi terhadap perbedaan (tolerance of diversity), berkembangnya nilai-nilai kehidupan (value of life), dan adanya ikatan-ikatan pekerjaan (work connection).
Ada dua pendapat dimana posisi modal sosial. Pertama, modal sosial melekat pada jaringan hubungan sosial. Hal ini terlihat dari kepemilikan informasi, rasa percaya, saling memahami, kesamaan nilai, dan saling mendukung. Kedua, modal sosial juga dapat dilihat sebagai karakteristik (traits) yang melekat (embedded) pada diri individu yang terlibat interaksi sosial. Jadi, modal sosial tidak berada dalam jaringan, namun pada individu-individunya.
Khusus dalam kelembagaan perdagangan, Fafchamps dan Minten (1999) mengukur modal sosial yang dimiliki seorang pedagang atas empat hal yaitu: (1) jumlah hubungan dalam sistem tata niaga (the number of relatives in agricultural trade), (2) jumlah pedagang yang diketahui (the number of traders known), (3) jumlah orang yang dapat membantu dalam finansial (the number of people who can help financially), dan (4) jumlah pedagang pemasok dan penerima yang dikenal secara mendalam (the number of suppliers and clients known personally).
Satu konsep yang dekat dengan modal sosial yang sejak dulu menjadi salah satu perhatian ilmuwan khususnya untuk masyarakat pertanian adalah konsep “hubungan patron-klien” (patron-client relationship) (Scott, 1993). Ini merupakan hubungan dua pihak (diadik), antara dua orang secara individual yang bersifat asimetris. Pihak patron (tuan atau majikan) menyediakan perlindungan dan jaminan sosial, sedangkan klien memberikan tenaganya baik di pertanian maupun di rumah.
Keberadaan Modal Sosial pada Sistem Ekonomi (Modern dan Tradisional)
Pada prinsipnya, perdagangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penjualan dan atau pembelian barang, termasuk penawaran untuk menjual dan kegiatan lain yang berkenaan dengan pemindahtanganan barang dengan memperoleh imbalan. Aset dan perilaku bisnis juga dipengaruhi oleh keberadaan lembaga pasar formal (formal market institutions) seperti hukum dan aturan perdagangan (commercial law), jasa penyidikan (inspection services), asosiasi perdagangan (trade associations) dan sistem informasi (information systems). Aset yang dimiliki bersama-sama dengan faktor infrastruktur transportasi, komunikasi, dan jasa pergudangan; secara langsung membentuk perilaku pedagang dalam kegiatan bisnisnya (traders’ commercial activities).
Dalam laporan World Bank (2006), ada bukti yang nyata bahwa perdagangan pada level makro dipengaruhi oleh modal sosia. Meskipun modal sosial paling umum ada di ada di ekonomi mikro, namun modal sosial berimplikasi pada dampak dari perdagangan, migrasi, reformasi ekonomi, integrasi regional. “There is increasing evidence that trade at the macro level is influenced by social capital --a common property resource whose value depends on the level of interaction between people. While most work on social capital is microeconomic, social capital has implications for the effect of trade and migration, economic reform, regional integration, new technologies which affect how people interact, security, and more”.
Dengan demikian, modal sosial dapat menjadi identifikasi untuk mengukur kinerja ekonomi (Knack and Keefer 1997). Pada level makro indikatornya adalah munculnya trust, civic norms, dan aspek lain modal sosial sebagai dasar untuk pembangunan ekonomi. “Cross-country analyses are pointing to social capital as an important ingredient in economic performance” (La Porta et al, 1997).
Selain pada sistem ekonomi modern, modal sosial juga eksis pada ekonomi tradisional. Ekonomi tradisional secara umum mempunyai karakter 'pasar', yang ditandai dengan transaksi pasar tradisional. Pasar tradisional harus diartikan secara luas, yang pertama dimana kita bisa mendapatkan barang dan jasa, dan yang kedua dimana kesepakatan bersama menjadikan ekonomi berfungsi. Dan ini merupakan bagian dari sosial budaya yang sudah mengakar secara kuat. Di Indonesia, budaya sosio-ekonomi yang sudah terbentuk berabad-abad dalam sistem 'ekonomi pasar tradisional' tidak banyak berubah sampai saat ini (Ramelan, 2002).
Dalam keadaan krisis yang sedang kita alami menjelang akhir abad ke-20, ekonomi pasar tradisional telah menunjukan ketahanannya. Ini merupakan bukti bahwa dalam keadaan krisis, masyarakat mampu menemukan akar-akar kekuatan modal sosial dari ekonomi pasar tradisional. Pasar tradisional bertahan karena adanya modal sosial yang hidup di antara para pelakunya.
Dalam globalisasi ekonomi yang kita jalani dan hadapi sekarang ini, ekonomi pasar tradisional masih menjadi andalan sistem ekonomi kita. Ketahanan ekonomi yang bersumber pada ekonomi pasar tradisional tersebut harus dapat berintegrasi ke dalam ekonomi modern. Artinya, modal sosial khas yang hidup di dalamnya harus dapat ditransformasi agar menjadi salah satu kekuatan bagi ekonomi modern kita.
Beberpa ciri pokok ekonomi tradisional adalah informal, kecil-kecilan dan keterlibatan perempuan. Perempuan merupakan pelaku yang banyak pada sektor tradisional atau informal. Masuknya perempuan dalam perdagangan, terutama pada skala kecil, menurut Abdullah (2001), disebabkan karena menyempitnya lahan pertanian di wilayah pedesaan sehingga perempuan tersingkir dari kegiatan pertanian yang dikuasai laki-laki. Mengingat aktifitas pertanian yang tidak merata sepanjang tahun, perempuan lalu bekerja pada sektor-sektor off-farm (di luar pertanian) untuk meningkatkan ekonomi keluarga seperti berdagang di pasar.
Perempuan bergerak menjadi subjek ekonomi dan tidak sekadar objek. Hal ini sebagai perumusan kembali eksistensi perempuan, karena eksistensi perempuan selalu terpinggirkan dalam sistem kemasyarakatan. Bagaimanapun berdagang telah merupakan ranah kekuasaan yang memberikan perempuan ruang untuk manuver, paling tidak untuk keluar dari ranah yang terdominasi oleh laki-laki yakni rumah dan pertanian.
Menurut Brata (2004), modal sosial memberikan manfaat ekonomis bagi pelaku ekonomi informal perkotaan, berdasarkan pengamatan pada pedagang angkringan di Yogyakarta. Modal sosial dalam pengertian jaringan-jaringan atau hubungan-hubungan sosial informal, turut menentukan proses menjadi pedagang angkringan, termasuk dalam hal penentukan lokasi berdagang. Pengalaman teman ataupun kerabat dekat yang telah menjadi pedagang angkringan, misalnya, merupakan faktor penting dalam menjelaskan mengapa seseorang akhirnya memulai usaha warung angkring, termasuk melepaskan pekerjaan sebelumnya.
Seperti diungkapkan oleh Busse (2001), dalam hidup keseharian, modal sosial atau hubungan antar individual merupakan salah satu sumber daya atau modal yang digunakan orang dalam strategi pemecahan persoalan kehidupan sehari-hari. Di saat pekerjaan yang ada tidak memberikan pendapatan yang memadai maka dicarilah pekerjaan sampingan dimana pada umumnya sangat ditentukan oleh modal sosial yang dimiliki, yaitu keanggotaan dari jaringan sosial individual.
Penelitian Fafchamps dan Minten (1999) memperoleh kesimpulan bahwa akumulasi modal sosial terbukti memberikan peran yang sangat nyata dalam bisnis. Dengan kata lain, returns to social capital dalam usaha perdagangan cukup besar. Fafchamps dand Minten menyatakan: “Hence, we conclude that a large part of the effect of business experience on performance seems to come from the accumulation of social capital over time and less from the development of other types of expertise”. Pengukuran modal sosial memperlihatkan tumbuhnya nilai tambah (margins or value added) secara signifikan di atas kepemilikan sarana, kapital tenaga kerja (labor capital), human capital, dan keterampilan manajemen. Dua hal yang penting adalah jumlah pedagang lain yang dikenal dan jumlah orang yang siap membantu jika menghadapi permasalahan. Selain itu, hubungan bukan keluarga (non-family networks) terbukti lebih berperan dibandingkan hubungan keluarga (family networks).
Modal Sosial menciptakan Nilai Ekonomi
Kata “sosial” dalam frasa “modal sosial” bermakna sebagai sebuah relasi antar manusia, bukan dalam makna non ekonomi sebagaimana pada istilah Yayasan Sosial dan bantuan sosial. Dengan kata lain, modal sosial sesungguhnya adalah modal yang digunakan dalam aktifitas ekonomi, sebagaimana modal finansial dan sumber daya alam.
Penelitian Brata (2004) di Yogyakarta menemukan bahwa dalam hal bagi seorang pedagang angkringan (pedagang makanan), jaringan sosial memainkan peranan dengan mengamati beberapa aspek, yaitu informasi peluang usaha, informasi tentang lokasi, mengatasi kebutuhan dana untuk usaha, menambah modal sosial. Modal sosial berupa jaringan sekampung halaman telah membuka jalan untuk jaringan sosial yang ada dan bermanfaat dalam memperoleh bantuan atau pinjaman yang bersifat informal, ketika bantuan formal seperti dari pemerintah sangat terbatas. Hubungan sosial kekerabatan turut menentukan proses menjadi pedagang angkringan, dimana pengalaman teman ataupun kerabat dekat yang telah menjadi pedagang angkringan merupakan faktor penting sehingga seseorang akhirnya menjadi pedagang angkringan. Artinya, modal sosial yang mereka miliki telah menciptakan nilai ekonomi baginya. Keadaan ini sejalan dengan apa yang ditemukan oleh Bastelaers (2000), bahwa anggota masyarakat yang paling miskin ketika tidak memiliki akses terhadap fasilitas mikro-kredit, menjadikan jaringan-jaringan sosial sebagai elemen penting untuk memenuhi permodalannya.
Modal sosial juga mampu membangkitkan kemitraan, sebagai salah satu bentuk relasi yang diidealkan dalam kegiatan ekonomi. Penelitian Kolopaking (2002) mendapatkan bahwa modal sosial berperan mulai dari kegiatan tahap awal dalam aksi ad-hoc tingkat komunitas, dilanjutkan dengan memproduksi usaha kecil dan gurem dari komunitas ke organisasi desa, dan akhirnya menjadi unsur pengelolaan kolaborasi serta memelihara jejaring kolaborasi. Meskipun proses ini berhasil karena ada pihak luar yang menjadi fasilitator, namun keberadaan modal sosial dalam masyarakat sangat berperan dalam membentuk kesamaan opini di antara stakeholders.
Jejaring menjadi sarana untuk membentuk sinergi antara masyarakat dan pemerintah. Dengan prinsip-prinsip kesetaraan, informal, dan partisipatif dalam membangun komitmen, maka masalah-masalah pengembangan kemitraan usaha berbasis komunitas dapat ditangani secara sinergis. Dengan demikian, pilar utama mensinergikan antara pengembangan kemitraan usaha kecil/gurem dengan ekonomi kawasan adalah dengan membentuk usaha masyarakat berbasis komunitas. Implikasinya adalah bahwa dari pengembangan kolaborasi tersebut, pengelolaan kemitraan memerlukan muatan solidaritas moral semua pihak yang merupakan indikator dari modal sosial yang tumbuh dalam diri mereka.
Pada bentuk ekonomi modern, yaitu perusahaan yang bergerak di bidang bursa saham, penelitian Sulastri (2005) mendapatkan bahwa intellectual capital yang dimiliki perusahaan manufaktur yang telah go public di Bursa Efek Jakarta (BEJ) tidak memberikan kontribusi yang signifikan pada kinerja perusahaan. Namun, modal sosial ternyata berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja perusahaan. Ia juga menemukan bahwa kondisi lingkungan, utamanya lingkungan ekonomi, turut menentukan pengaruh modal sosial terhadap kinerja perusahaan. Umur perusahaan juga berpengaruh positif signifikan pada pembentukan modal sosial. Seiring dengan berjalannya waktu, perusahaan dapat meningkatkan dan memelihara networks atau jaringan kerja dengan stakeholder atas dasar kepercayaan (trust). Karena itu, perusahaan semestinya berupaya memperkuat kemampuan modal sosial pada tataran internal dan eksternal yang dapat melindungi perusahaan pada berbagai kondisi lingkungan ekonomi.
Penelitian di China (Anonim, 2005) mendapatkan bahwa jaringan kekeluaragaan (kinship networks) merupakan dasar pembentuk hubungan modal sosial yang menciptakan kepercayaan dalam masyarakat. Dalam menghadapi perubahan cepat dalam ekonomi industri, peran pelaku-pelaku dalam kelembagaan penting dalam keberlanjutan modal sosial yang sudah ada.
Sementara itu, penelitian Fafchamps (2007) di Afrika membutktikan bahwa menghadapi kebijakan reformasi pasar pertanian (agricultural market reforms), dimana terjadi peningkatan biaya transaksi berhadapan dengan pedagang individual (individual traders), maka peran perantara (intermediaries) semakin penting, termasuk jaringan (relationships) dan modal sosial. Studi juga menunjukkan bahwa asset yang dimiliki seorang pedagang (traders’ assets), termasuk finansial, fisik, serta sumberdaya manusia dan modal sosial; mempengaruhi perilaku komersial para pedagang.
Penelitian Fafchamps dan Minten (1999) dengan menggunakan 1579 orang sampel pedagang dengan menggunakan analisis permodelan ekonomi, membuktikan bahwa “... traders who do not develop the appropriate social capital, do not grow”. Modal sosial terbukti mempengaruhi pertukaran ekonomi (economic exchange) dalam dua bentuk yaitu kepercayaan dan emosi dalam kelompok atau jaringan, dan keuntungan yang diperoleh secara langusng secara individual atau sebuah perusahaan dengan mengenal pihak lain secara mendalam melalui jaringan ataupun pelanggan (interconnected agents). Modal sosial dapat mengurangi biaya dalam memperoleh barang, meningkatkan difusi inovasi, dan mereduksi resiko.
Hal ini senada dengan penelitian Fafchamps (2007) yang lain, yang mendapatkan bahwa pembayar di muka dari pedagang ke petani, biasanya 1-2 minggu sebelum dipanen, bukan lah semata untuk membantu petani yang membutuhkan uang tunai, namun adalah agar pedagang tersebut memperoleh jaminan barang (secure future deliveries). Dalam penelitiannya, modal sosial diukur dari jumlah dan tipe relasi yang digunakan oleh pedagang hasil pertanian untuk tujuan bisnisnya.
Struktur Pelaku Perdagangan
Pelaku dalam perdagangan tidak hanya “pedagang” dalam arti orang yang membeli dan membayar suatu barang, lalu menjualnya pada kesempatan lain dengan mengambil untung dari kegiatannya tersebut. Selain pedagang, dalam sistem perdagangan terlibat juga para buruh yang membantu pedagang, pelaku transportasi, penyedia jasa dalam penimbangan, bongkar muat , dan lain-lain.
Dalam satu jaringan tata niaga biasa dijumpai begitu banyaknya pedagang terlibat mulai pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul tingkat kecamatan, kemudian ke pedagang pengumpul yang lebih tinggi lagi sampai akhimya pada pedagang antar daerah, antar pulau atau eksportir. Pada daerah pemasaran, barang akan masih berpindah-pindah tangan lagi lebih dari satu kali, misalnya dari pedagang antar wilayah/pulau ke pedagang grosir (wholesaler) dan selanjutnya ke padagang pengecer (retailer).
Dalam menganalisis relasi dalam sebuah struktur perdagangan, biasanya bertolak dari “pedagang” (traders), yang merupakan pedagang besar, adakalanya disebut dengan bandar, yang menjadi pelaku dalam perdagangan antar wilayah, perdagangan antar pula, atau eksportir. Para pedagang yang menjadi pengirim barang ke “pedagang” disebut pemasok (supplier), yang dapat berupa pedagang komisioner, broker, maupun pedagang kaki tangan (lihat Syahyuti, ....). Lalu, para pedagang yang menerima barang dari “pedagang” yaitu yang berada di wilayah pemasaran disebut dengan clients, pedagang pengecer (retailer) dan grosir (wholesaler) seperti halnya pedagang yang memiliki lapak di pasar induk misalnya.
Yang membedakan pedagang dengan pedagang kaki tangan adalah, pedagang menyertakan modalnya sendiri di dalam transaksi sementara pedagang kaki tangan memakai modal orang lain, yaitu modal dari pedagang berikutnya (lebih di hilir) dalam jalur tata niaga tersebut. Sementara pedagang komisioner selain tidak menyertakan modal uangnya sendiri, juga tidak menetapkan harga, bahkan tidak membayar apapun pada saat membeli. Pedagang biasa memiliki peran yang lebih besar di dalam jaringan tata niaga, meskipun jumlahnya dalam satu sistem jaringan tata niaga tidak banyak. Pedagang (traders) jenis ini memiliki otoritas terhadap pembelian dan penentuan harga. Berbeda dengan dua jenis pedagang lain, ia berpeluang menderita rugi secara langsung.
Modal Sosial menjadi Tulang Punggung dalam Pasar Pertanian yang Tidak Sempurna
Perdagangan hasil-hasil pertanian, termasuk di Indonesia, secara umum bekerja dalam bentuk pasar yang tidak sempurna (imperfect markets). Ketidaksempurnaan tersebut diindikasikan oleh lemahnya kelembagaan pasar (poor market institutions) secara struktural dan kultural, biaya transaksi yang besar (high search costs) sehingga menjadi tidak efisien, dan struktur informasi yang tidak sempurna dan seimbang (imperfect and asymmetric information). Menghadapi kondisi seperti ini, maka modal sosial menjadi semakin penting.
Faktor-faktor kunci keberhasilan menurut pedagang, menunjukkan bahwa reputasi (reputation) and relasi (relationships) menjadi sangat penting. Kedua hal ini jauh lebih penting dari akses kepada permodalan, kepemilikann jaminan untuk kredit (granting credit), posisi dalam struktur perdagangan, dan akses terhadap transportasi dan komunikasi. Reputasi dan relasi merupakan dua komponen pokok dalam modal sosial. Reputasi terbangun melalui kepercayaan (trust) yang diberikan pihak lain kepada kita, sedangkan relasi merupakan wadah dimana interaksi dapat dioperasikan.
Sebuah relasi yang cukup secara kuantitas dan kualitas, dapat memberikan keuntungan yang berganda (multiple advantages). Penelitian Fafchamps (2007) memperlihatkan bahwa pedagang memanfaatkan jaringan and modal sosial untuk mengatasi tiga masalah penting dalam pasar yang tak sempurna (imperfect markets) yang umum dijumpai di negara berkembang.
Kelembagaan pasar yang lemah (poor market institutions) terlihat dari tiga hal, yaitu permodalan, kontrak dagang, dan asuransi. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa penggunaan kredit oleh pedagang sangat rendah dalam membantu aktifitasnya. Tidak sebagaimana petani yang begitu banyak skim kredit yang disediakan pemerintah, untuk pedagang kita tidak mengenal skim khusus. Meskipun pedagang dapat mengakses skim kredit umum, namun agunan (collateral) yang bisanya minim menjadi kendala. Dalam kondisi ini, maka modal sosial membantu mereka untuk akses pada kredit nonformal (informal trader credit). Poesoro (2007) juga menyetuji bahwa faktor yang menjadi penyebab kurang berkembangnya pasar tradisional adalah minimnya daya dukung untuk pedagang tradisional yakni strategi perencanaan yang kurang baik dan terbatasnya akses permodalan karena jaminan yang tidak mencukupi.
Pedagang biasanya memperoleh modal dari pedagang lain, yang sekaligus sebagai bukti diterimanya dirinya dalam struktur perdagangan tersebut. Jaringan neraca kredit yang kompleks dan bercabang-cabang adalah salah satu mekanisme yang mengikat bersama semua pedagang besar maupun kecil menjadi faktor integratif dalam pasar (Geertz, 1989). Pedagang besar memberi kredit pada yang kecil, atau yang kecil berhutang pada yang besar. Namun sifat berhutang tersebut tidaklah hanya untuk tujuan memperoleh modal, karena itu juga berarti suatu mekanisme untuk mendapatkan posisi dalam sistem jaringan tata niaga tersebut. Damanik (1983) juga menemukan bahwa blantik melakukan kerjasarna dengan pembeli melalui penentuan harga dan kerjasarna modal. Demikian pula Sihite (1995) yang mendapatkan bahwa bantuan dana sesama pedagang adalah sumber modal utama bagi pedagang.
Dalam hal kontrak dagang (contract enforcement), sebagaimana kredit, pedagang juga jarang menggunakan kekuatan kontrak. Ketika menghadapi permasalahan, sangat sedikit yang menggunakan jasa polisi, pengacara, dan pengadilan untuk menyelesaikan masalahnya. Solusi yang dominan, jika ada masalah adalah meminta bantuan negosiasi dengan pihak ketiga (mediator).
Namun, sebagaimana ditemukan Fafchamps dan Minten (1999), solusi yang umum jika dihadapi perselisihan adalah dengan meneruskan perdagangan (resolved and trade continues). Perselisihan diselesaikan melalui negosiasi karena pada prinsipnya semua pedagang ingin melanjutkan hubungan. Hubungan yang telah tercipta begitu bernilai bagi mereka, dibandingkan hutang yang belum dibayar misalnya. Seorang pedagang (trader) akan sangat sulit untuk memperoleh pemasok (supplier) baru jika mereka kehilangan seorang saja pemasok langganannya.
Selanjutnya, dalam hal jaminan (insurance) keuangan dalam berusaha, kita mengathui bahwa komoditas pertanian yang diperdagangkan dikenal sangat bervariasi kualitasnya sehingga sangat beresiko. Resiko semakin menjadi besar (co-variate risks) karena berbagai sebab, yaitu infrastruktur jalan yang buruk, resiko keamanan, pengaruh cuaca, fluktuasi harga yang tinggi, dan idiosyncratic risks seperti pembayaran yang terlambat bahkan tidak dibayar sama sekali, dan kulaitas buruk yang sulit dideteksi. Dengan tidak adanya lembaga formal yang mampu memberikan jaminan untuk perdagangan pertanian, maka modal sosial memainkan perannya yang sangat penting.
Akibat kondisi tersebut, maka semua pedagang berada dalam mekanisme asuransi yang informal (informal insurance mechanism), dimana pedagang besar (larger traders) akan lebih berkepentingan untuk menjaga jaringan solidaritasnya (solidarity networks) daripada pedagang kecil kompetitornya. Seorang pedagang besar percaya bahwa mereka akan dibantu oleh keluarga dan orang lain jika membutuhkan, dan memang sangat siap membantu jika dibutuhkan, sementara pedagang kecil percaya kepada kemampuannya sendiri (own achievements) tanpa bantuan (Fafchamps dan Minten, 1999).
Modal sosial memainkan perannya secara nyata dalam kondisi kelembagaan pasar yang lemah apalagi gagal. Modal sosial dapat menjadi sumber kredit ketika kredit formal tidak bisa diakses, dapat menjadi asuransi melalui berbagi resiko (risk sharing) yaitu tidak membayar sebelum barang terjual sehingga harga ditentukan belakangan (atau setidaknya memohon pengurangan harga jika harga yang terjadi lebioh rendah dari yang diharapkan), dan dapat menjadi pengganti ketika kekuatan kontrak (contract enforcement) dari lembaga formal tidak berjalan atau tidak ekonomis.
Selanjutnya, tingginya biaya dalam perdagangan (high search costs) disebabkan oleh permasalahan suplai, permintaan (demand) dan jasa perdagangan (marketing services). Dari sisi suplai (supply), biaya yang tinggi disebabkan karena terbatasnya pilihan pedagang pemasok (suplier). Untuk menjamin pasokan barang seorang pedagang terpaksa memberi insentif agar ia mau mengirim barang secara reguler. Untuk itu, adakalnya pedagang membayar tunai barang yang diambil, atau bahkan membayar di depan. Untuk pedagang yang lebih besar, bahkan ketergantungan ini semakin terasa. Untuk itu, kita menemukan bahwa relasi yang sudah berlangsung lama antara pedagang dengan pemasok langganan (regular suppliers) merupakan pola yang umum. Relasi ini umumnya melebihi batasan keluarga, agama, dan etnik.
Seroang pedagang yang memiliki hubungan yang dekat dengan pemasok, maka ia dapat melakukan pemesanan (forward ordering). Hubungan yang kuat dengan pemasok dapat menghindarkan pedagang dari kerugian karena buruknya kualitas barang. Pedagang tidak mampu mengecek kualitas barang secara cepat dan menyeluruh. Karena itu pula, pedagang menolak mengambil barang dari pemasok yang belum dikenalnya (unknown suppliers).
Pola berlangganan merupakan strategi yang sangat sesuai menghadapi berbagai kelemahan kelembagaan pasar. Tampaknya tidak ditemukan pola transaksi yang benar-benar terbuka, dalam arti tanpa adanya kepastian sama sekali dalam hal harga dan pelakunya (pembeli berikutnya). Para pedagang hampir selumhnya terikat pada stmktur organisaasi yang agak tetap. Pedagang yang akan membeli barang selanjutnya hampir dapat dipastikan orangnya, karena diikat oleh langganan. Pola langganan ini berbentuk hubungan dua pihak (diadik) mulai dari pedagang ranting dengan pedagang pengumpul tingkat desa, bergerak secara bertahap ke ujung sampai akhimya pada transaksi antara pedagang grosir dengan pedagang pengecer. Jika ditelusuri dari mulai petani sampai ke konsumen, maka hanya transaksi antar pedagang pengecer dan pembeli akhir (konsumen) saja yang sungguh-sungguh terbuka, karena setiap orang bisa dan mungkin berpeluang menjadi pelakunya (konsumennya).
Dari sisi permintaan (demand), untuk mengurangi biaya pada umumnya pedagang menjual barang ke pedagang hilir yang sudah biasanya (regular clients). Strategi ini diambil agar memungkinkan untuk membiayai (refunds) jika kualitas barang bermasalah. Seorang pedagang akan memilih client karena kemampuan dan moralitasnya, dalam upaya mengurangi biaya pemasaran.
Dalam hal jasa perdagangan (marketing services), untuk mengurangi biaya, umumnya pedagang menggunakan jasa transportasi yang sama. Hal ini akan lebih baik (“… regularity in relationships with transporters might lead to more sophisticated transactions”). Sikap ini sama dengan sikap terhadap pemasok ataupun client, karena hubungan yang berlangganan telah memiliki kepercayaan yang kuat. Menghadapi komoditas pertanian yang gampang rusak dan kondisi gudang yang sering kali tidak memadai, maka “… The establishment of regular relationships upstream and downstream might be in the interest of traders, clients, and suppliers alike”. Masalah infrastruktur hingga kini masih menjadi masalah serius di pasar tradisional. Kondisi pasar tradisional pada umumnya memprihatinkan, dimana banyak pasar tradisional di Jabodetabek yang tidak terawat (Poesoro, 2007). Dengan berbagai kelebihan yang ditawarkan oleh pasar modern, kini pasar tradisional semakin terancam keberadaannya.
Terakhir, dalam menghadapi struktur informasi yang tidak sempurna dan tidak seimbang (imperfect and asymmetric information) maka pengembangan modal sosial juga sangat membantu untuk menghasilkan pemahaman antar pelaku-pelaku yang penting. Menghadapi kelembagaan pasar yang lemah, pedagang berupaya menjadi lebih efisien yaitu dengan membangun kepercayaan melalui jaringan dengan supplier dan client yang menghasilkan sebuah relasi jalan yang memuaskan (sophisticated ways) dalam perdagangan yaitu memberi dan menerima pinjaman, pemesanan (forward ordering), dan mengurangi keharusan untuk mengecek kualitas barang.
Pedagang memperoleh informasi pasar melalui hubungan personal (personal contacts) dengan pedagang lain, pemasok, clients; atau melalui media massa seperti koran dan radio. Agar memperoleh sistem perdagangan yang lebih memuaskan, pedagang harus membangun sistem yang kokoh dalam hal kepercayaan (credibility) dengan clients dan pemasok untuk mendapatkan kontrask yang lebih baik. Dalam konteks ini, pedagang selalu mengevaluasi tingkat kredibilitas langganan-langganannya. Kredibilitas dicapai melalui pengembangan hubungan yang panjang (long-term relationships), dimana seorang pedagang hampir tidak melakukan memberi dan menerima pinjaman untuk supplier maupun clients yang baru dikenal. Fafchamps dand Minten (1999) menemukan bahwa seorang pedagang baru berani memberi pinjaman jika transaksi sudah terjadi antara 9 sampai 13 kali transaksi. Jika kepercayaan belum tumbuh, pedagang melakukan transaksi langsung (cashand-carry transactions).
Menghdapi buruknya informasi tentang barang yang diperdagangkan (information on products) umumnya pedagang melakukan cek kuantitas, dan secara terbatas untuk kualitas. Kualitas barang biasanya berdasarkan dari mana barang berasal. Gula aren dari Banten misalnya dinilai lebih baik dibandingkan gula aren yang datang dari Ciamis dan Garut. Pedagang mencek kualitas, dan menetapkan harga dari hasil penilaiannya tersebut. Adakalanya yang mencek adalah buruh, namun untuk hal-hal tertentu, pedagang sendiri yang melakukannya.
Pedagang memiliki sifat yang lebih tertutup terhadap orang luar dan cenderung curiga. Wharton (1984) serta Hayarni dan Kawagoe (1993) melaporkan bahwa di dalam pelaksanaan penelitiannya mereka kurang berhasil mengadakan pendekatan dengan responden pedagang dan jawaban-jawaban mereka juga diragukan validitasnya. Sifat yang cenderung tertutup tersebut timbul dari kebiasaan untuk mempertahankan informasi yang dimilikinya karena informasi adalah sumber daya yang sangat berharga.
Untuk mengetahui kualitas barang secara lebih memuaskan, pedagang semestinya melakukan peninjauan langsung ke lokasi dari mana barang diproduksi. Disinilah pentingnya modal sosial, karena dengan kepercayaan yang besar ia tidak perlu melakukan hal tersebut, yang berarti mengurangi biaya perdagangan atau bahkan menghilangkan biaya (costless). Pertumbuhan usaha perdagangan seorang pedagang akan terbatas bila ia tidak dapat memanfaatkan dan membangun modal sosial (”... If a trader is not able to develop this social capital, his firm might show limits to growth”). Wharton (1984) menyimpulkan bahwa semakin kuat seorang pedagang, jaringan pemasarannya akan semakin meluas, sehingga pasarnya semakin berkembang.
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
Uraian di atas memperlihatkan bahwa modal sosial terbukti tumbuh dan terakumulasi menurut waktu dan secara signifikan mempengaruhi kinerja sistem perdagangan komoditas pertanian. Modal sosial mampu mengurangi dampak dari ketidaksempurnaan pasar yang dihadapi para pelaku perdagangan. Modal sosial mereduksi tingginya biaya transaksi melalui tiga dimensi yaitu relasi dengan pedagang lain yang dapat membantu dalam biaya transaksi, relasi dengan orang-orang yang dapat membantu jika dihadapi kesulitan keuangan karena berada bisnis dengan resiko yang besar (liquidity risk), dan relasi keluarga (family relationships) yang dapat mengefisienkan dan mereduksi kesalahan-kesalahan dalam penilaian kualitas barang (measurement error).
Modal sosial dapat ditumbuhkan secara formal misalnya melalui penumbuhan asosiasi-asosiasi pedagang, untuk mengurangi dampak dari bisnis yang misalnya berbasiskan kesukuan, dan memfasilitasi komunikasi dan informasi yang baik. Membangun sistem hukum dan pengadilan mungkin tidak terlalu berguna, karena pedagang kecil sangat jarang menggunakan lembaga ini karena tidak ekonomis.
Untuk mengembangkan modal sosial kata kuncinya adalah “waktu”. Modal sosial yang dimiliki seorang pedagang meningkat dengan semakin lama terlibat dalam perdagangan. Dibutuhkan kepakaan (intuitive) yang berkembang seiring waktu dan usaha untuk membangun hubungan dengan seseorang yang siap membantu jika ditemui permsalahan terutama keuangan.
Implikasi dari kesimpulan ini, sebagaimana juga disimpulkan Fafchamps (2007), untuk memperbaiki pemasaran, intervensi kebijakan dapat mengupayakan empat hal penting yaitu: meningkatkan aset pedagang, mereduksi resiko transaksi, mempromosikan perilaku bisnis yang lebih baik (sophisticated business), dan mereduksi biaya tata niaga (physical marketing costs).
Daftar Pustaka
Anonimous. 2005. Trade unions and social capital in transitional communist states: The case of China. http://www.springerlink.com/content/ qmn475617r140x47/
Brata, Aloysius G. 2004. Nilai Ekonomis Modal Sosial pada Sektor Informal Perkotaan. Lembaga Penelitian Universitas Atma Jaya.
Busse, S. 2001. Strategis of Daily Life: Social Capital and the Informal Economy in Russia.” University of Chicago Departement of Sociology (akan terbit dalam Sociologial Imagination 38 (2/3) Special Issue on the Informal Economy).
Coleman, J. 1988. “Social Capital in the Creation of Human Capital.” American Journalof Sociology 94. (Supplement) S95-S120. (Dalam: The World Bank. 1998. Hal 5-7).
Damanik, Konta Intan. et al. (16 orang penulis). 1983. Peranan Blantik dalam Sistem Produksi dan Pemasaran Kambing/Domba di Jawa Tengah. (hal. 220-225) dalam M. Rangkuti, Tjeppy D. Soedjana, H.C. Knipscheer, P. Sitorus, clan Agus Setiadi (editor). Domba dan Kambing di Indonesia. Pro siding Pertemuan Umiah Pene1itian Ruminansia Kecil. Bogor. 22-23 November 1983. Pusat penelitian dan Pengembangan Pertemakan (315 halaman).
Fafchamps, Marcel dan Bart Minten. April 1999. Social Capital and the Firm: Evidence from Agricultural Trade. http://www.appropriate-economics.org/materials/social_capital_and_the_firm.pdf
Fafchamps, Marcel. Global Poverty Research Group. 2007. Trade and social capital. http://www.gprg.org/themes/t4-soccap-pub-socsafe/sc-uses/trade-sc.htm, 20 agustus 2007
Geertz, Clifford. 1989. Penjaja clan Raja: Perubahan Sosial clan Modemisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia. Yayasan Ooor Indonesia. Jakarta. (172 hal).
Grootaert, C. 1997. “Social Capital: The Missing Link?” in Expanding the Measure of Wealth: Indicators of Environmentally Sustainable Development. Environmentally Sustainable Development Studies and Monographs Series No. 7. Washington, DC: The World Bank. (Dalam The World Bank. 1998. Hal 5-7).
Grootaert, C dan T van Bastelaer. 2001. Understanding and Measuring Social Capital: A Synthesis of Findings and Recommendations from the Social Capital Initiative. Social Capital Initiative Working Paper No. 24. Washington, D.C: The World Bank.
Hayami, Yujiro dan Toshihiko Kawagoe. 1993. The Agrarian Origins of Commerce and Industry: A Study of Peasant Marketing In Indonesia. St. Martin's Press. Singapore.
Kolopaking, Lala M. 2002. Pola-Pola Kemitraan dalam Pengembangan Usaha Ekonomi Skala Kecil/Gurem. Lokakarya Nasional “Pengembangan Ekonomi Daerah Melalui Sinergitas Pengembangan Kawasan”. Diselenggarakan oleh Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. 4 -5 November 2002 di Hotel Arya Duta Jakarta.
Narayan, D. dan Pritchett, L. 1997. Cents and Socialibility: Household Income and Social Capital in Rural Tanzania, Policy Research Department, the World Bank, Washington DC, August 1996. (Mimeograph)
Poesoro, Adri. 2007. Pasar Tradisional di Era Persaingan Global. SMERU Newsletter No. 22: Apr-Jun/2007. Lembaga Penelitian SMERU. Jakarta.
Putnam, R. 1993. “The Prosperous Community — Social Capital and Public Life.” American Prospect (13): 35-42. (Dalam The World Bank. 1998. Hal 5-7).
Ramelan, Rahardi. 2002. Menyikapi Modal Asing: Bagian Pertama dari Dua Tulisan. http://www.leapidea.com/presentation%3Fid%3D41+social+capital+modal+sosial+di+perdagangan&hl=id&ct=clnk&cd=1&gl=id
Subejo. 2004. Peranan Social Capital dalam Pembangunan Ekonomi: Suau Pengantar untuk Studi Social Capital di Pedesaan Indonesia. Majalah Agro Ekonomi Vol. 11 No.1 Juni 2004. hal 79.
Sulastri. 2005. Pengaruh Intellectual Capital dan Social Capital terhadap Kompensasi Karyawan dan Kinerja Perusahaan. prasetya.brawijaya.ac.id/mar05.html - 210k.
Schiff, Maurice. 2000. Love Thy Neighbor: Trade, Migration and Social Capital World Bank - Development Research Group (DECRG); Institute for the Study of Labor (IZA). May 8, 2000. World Bank Working Paper. http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=229615. (social science research network).
Scott, James C. 1993. Perlawanan Kaum tani. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta (384 ha1.).
Sihite, Romany Rampengan. 1995. Pola Kegiatan Wanita di Sektor Informal; Khususnya Pedagang Sayur di Pasar. (haI375-400) dalam T.O. Ihromi (penyunting). 1995. Kajian Wanita dalam Pembangunan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. (549 ha1.).
Syahyuti. 1998. Beberapa Karakteristik dan Perilaku Pedagang Pemasaran Komoditas Hasil-Hasil Pertanian di Indonesia. Forum Agro Ekonomi Vol. 16 No.1, Juli 1998.
Tonkiss, F. 2000. Trust, Social Capital and Economy. Dalam F. Tonkiss dan A. Pasey (eds.). Trust and Civil Society. New York: St. Martin’s.
Wharton, Clifton R. 1984. Pemasaran, Perdagangan dan Peminjaman Uang: Studi Mengenai Monopsoni Pedagang Perantara di Malaysia Barat (haI143-169). dalam Budiono dan Peter McCawley (editor). Bunga Rampai Ekonomi Mikro. Gajah Mada University Press. Yayasan Obor Indonesia. (228 halaman).
World Bank.1998. ”The Initiative on Defining, monitoring and Measuring Social Capital: Text of Proposal Approved for Funding”. Social Capital Initiative Working Paper No. 2. The World Bank, Social Development Family, Environmentally and Socially Sustainable Development Network. June 1998. (Dalam http://www1.worldbank.org/prem/poverty/scapital/wkrppr/sciwp2.pdf. 9 Mei 2005).
World Bank. 2000. World Development Report 1999/2000: Entering the 21st Century. New York: Oxford University Press. http://www.acehinstitute.org/opini_muamar_vebry_071206_dead_capital.htm
World Bank, 2006. Social Capital in Economics, Trade and Migration http://www1.worldbank.org/prem/poverty/scapital/topic/econ1.htm
*****
Kamis, 16 Desember 2010
Kenaikan Harga Sembako dan Beban Sosiologis Pedagang
Untuk menenangkan konsumen, beberapa menteri sampai harus sidak ke pasar-pasar sambil diiringi belasan kamera TV. Maksudnya lebih kurang adalah unjuk gigi pemerintah dan ”membuktikan” bahwa harga masih terkendali. Diharapkan pedagang pun akan takut untuk coba-coba menaikkan harga lagi.
Satu fakta mendasar yang sering lupa adalah bahwa, pedagang pada hakekatnya adalah sebuah entitas sosial dengan otonominya sendiri. Ia adalah sebuah kelembagaan, satu di antara tiga kelembagaan yang menjalankan dunia sosial selain pemerintah dan masyarakat. Secara teoritis, masing-masing kelembagaan ini berkerja dengan otonominya masing-masing. Saling intervensi hanya bisa terjadi secara terbatas. Kalau boleh jujur, kita harus akui pada hakekatnya tidak ada satu lembaga pun yang bisa mengintervensi pedagang. Meskipun pemerintah menyediakan bangunan pasar, dan menerbitkan segepok regulasi; namun pedagang, terutama pedagang lokal antar wilayah, tidak pernah bisa diatur sepenuhnya.
Fakta lain, kita sebenarnya tidak begitu paham dengan siapa itu pedagang. Penelitian-penelitian tentang perdagangan produk pertanian selama ini baru terbatas pada sistem tata niaga, bentuk dan struktur rantai tata niaga, harga dan fluktuasinya, biaya dan margin tata niaga, integrasi pasar, efisiensi pasar, efektifitas pemasaran, transmisi harga, dan lain-lain. Manusia yang menggerakkan aktifitas tersebut jarang diteliti.
Alih-alih berupaya memahami sosiologi pedagang, kita malah sudah memberi bermacam cap negatif kepada mereka. Pemahaman yang kita miliki dibangun dari prasangka-prasangka belaka. Kita sering menyebut pedagang sebagai telah memeras petani, menghisap petani, dan bahkan memiskinkan petani. Sedikit banyak, imej yang buruk ini mungkin sisa dari jargon era PKI dulu bahwa tengkulak (yang jahat) adalah satu dari ”tujuh setan desa”.
Point dari tulisan ini adalah bahwa harga yang tidak bisa dikendalikan sepenuhnya merupakan bukti bahwa kita tidak bisa mengendalikan pedagang secara efektif. Harga yang terjadi tidak semata hasil dari dinamika kuantitas dan aspek material lain, namun karena peran pedagang yang menggerakkan sistem perdagangan di belakangnya. Implikasinya, kita harus bisa masuk dan ”menguasai” pedagangnya, tidak hanya barang yang didagangkan.
Sayangnya, pemerintah selama ini belum efektif membangun relasi dengan mereka. Metoda yang paling konvesional misalnya prinsip take and give isekalipun, belum diterapkan selama ini. Sebagai contoh, kredit khusus untuk pedagang –khususnya pedagang kecil dan lokal - belum pernah disediakan sampai saat ini. Bandingkan dengan petani yang telah disediakan puluhan macam skim semenjak era KUT dulu. Hampir tidak ada prgoram yang digulirkan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia yang terlibat dalam perdagangan.
Pedagang produk pertanian lokal umumnya bersifat tradisional-non formal. Pedagang telah berupaya mengorganisasikan dirinya sendiri, dimana modal sosial dijadikan strategi untuk mereduksi tingginya biaya transaksi. Mereka bekerja dalam bentuk pasar yang tidak sempurna (imperfect markets). Ketidaksempurnaan tersebut diindikasikan oleh lemahnya kelembagaan pasar (poor market institutions) secara struktural dan kultural, biaya transaksi yang besar (high search costs) sehingga menjadi tidak efisien, dan struktur informasi yang tidak sempurna dan seimbang (imperfect and asymmetric information).
Menghadapi lebaran, ada satu kultur bangsa kita untuk saling berbagi dengan saudara, kerabat, dan bawahan. Ini tentu membutuhkan biaya lebih. Sebagai mana profesi lain, pedagang pun ingin dapat “lebih”. Cara satu-satunya hanyalah dengan menaikkan harga jual.
Jadi, kenaikan harga yang berulang ini tak bisa lagi diterangkan dari sekedar hukum supply-demand. Dibalik sifat pasar yang cenderung anarkis, ada solidaritas yang kuat antar pedagang yang menyulitkan intervensi pihak luar manapun. Para pelaku perdagangan mulai dari pedagang, broker, grosir, sampai tukang sayur keliling memiliki cara sendiri dalam memaknai fakta sosial yang mereka hadapi. Merekapun punya cara tersendiri untuk memecahkan masalah mereka. Menaikkan harga merupakan cara agar dapat berbagi dengan sopir dan kernet truk, kuli angkut, buruh pasar, tukang timbang, pemilik lapak, preman pasar, dan tukang pungut liar di jalanan.
Penelitian Wharton (1984) serta Hayarni dan Kawagoe (1993) menemukan, pedagang cenderung tertutup dan curiga terhadap pihak luar. Agar pengendalian harga bisa efektif, pemerintah harus mendapatkan jalan yang tepat. Langkah pertama adalah dengan memahami karakter sosiologis pelaku perdagangan secara empati, karena menyediakan stok sembako yang cukup baru salah satu prasyarat belaka. ******